Minggu, 03 November 2013

RESENSI FILM - ADA APA DENGAN CINTA



“Karena aku ingin kamu. Itu saja.” Untaian kata-kata polos tersebut dengan manis membalut sebuah cerita penuh liku mengenai cinta. Memang hebat, hanya dalam 112 menit ‘Ada Apa Dengan Cinta?’ (AADC) telah berhasil mengulas semua aspek percintaan, sekaligus mengemasnya lewat sudut pandang seorang Cinta (Dian Sastrowardoyo). Seperti gadis remaja manapun, kehidupan Cinta diwarnai oleh kegilaan-kegilaan yang dikemas dalam persahabatan kentalnya dengan Maura (Titi Kamal)Alya (Ladya Cheryl)Milly (Sissy Priscilla) dan Carmen (Adina Wirasati). Cinta juga hidup disayang sebagai anak semata wayang dalam keluarganya yang tak kalah harmonis. Terlebih dari itu, Cinta juga menguasai seni menulis puisi, dan kepiawaiannya sebagai penyair terbukti lewat puisi “Sahabat” – yang dengan hangat menyambut penonton di awal film. Singkat kata, Cinta digambarkan sebagai sesosok remaja putri SMA yang memiliki seluruh dunia dalam kepalan tangannya.
Akan tetapi dunia kecil Cinta dijungkirbalikan oleh kemunculan Rangga (Nicholas Saputra), yang secara tidak sengaja merebut kemenangan Cinta dalam sebuah lomba menulis puisi. Kejadian ini dengan segera menebarkan bibit-bibit perseteruan, yang mengakibatkan limpahan momentum “anjing dan kucing” di antara mereka. Setelah lusinan konflik berlalu, Rangga dan Cinta mulai menjumpai berbagai persamaan di antara mereka. Layaknya cerita asmara klasik, Rangga dan Cinta mulai mengadopsi hubungan saling ‘benci’ – dalam artian hubungan saling benar-benar cinta.
Meskipun begitu, kehadiran Borne (Fabian Ricardo) - teman sekolah Cinta yang sudah lama menaruh hati padanya – lekas menghambat perjuangan Rangga untuk memenangkan hati Cinta. Bedampingan dengan itu, kebersamaan Rangga dan Cinta juga seringkali menyulut api perselisihan di tengah Cinta dan ke-empat sahabat sejatinya. Situasi memanas ketika Cinta kerap kali harus memilih antara Rangga atau ke-empat sobatnya. Pilihan Cinta hampir menyebabkan Alya – yang sedang didera masalah keluarga – kehilangan nyawanya, dan memutuskan tali persahabatan di antara semua sahabatnya!
Selesai menyorot permasalahan cinta dari segala aspek (lawan jenis, sahabat dan keluarga), AADC menyajikan penutup yang efektif nan sederhana. Dengan menggugah, Cinta, Maura, Milly, Alya dan Carmen bersatu kembali untuk saling mendukung satu sama lain, dan hubungan keluarga Alya juga berangsur membaik. Adegan penting di penghujung film AADC berkisar seputar persatuan mengharukan antara Rangga dan Cinta! Rangga yang hendak pindah ke Amerika, terpaksa harus meninggalkan Cinta tanpa mengutarakan kata-kata perpisahan. Bagaimanapun, sebelum Rangga beranjak menaiki pesawat, Cinta secara mengejutkan muncul dan mengakui perasaannya kepada Rangga. Rangga yang pada akhirnya harus tetap pergi, mencetuskan janji bahwa Ia akan kembali untuk Cinta. Rangga kemudian menyerahkan buku syairnya kepada Cinta untuk menyatakan ketulusannya. Dalam perjalanan pulang Cinta mulai membaca salah satu puisi yang ditulis Rangga tentang dirinya, dan dengan perlahan film pudar dari hadapan penonton.
Tak diragukan lagi, AADC merupakan salah satu film Indonesia berkualitas yang patut dibanggakan. Film yang beberapa minggu lalu genap berumur 10 tahun ini, dengan cermat telah mengangkat sebuah tema yang sangat manusiawi. Terlebih dari itu, film yang digarap oleh Rudy Soedjarwo ini memiliki sangkut paut minim dengan teknologi maupun penemuan terbaru. Ini memperbolehkan AADC untuk tumbuh menjadi suatu karya yang “tahan banting” terhadap era globalisasi. Selain itu, film yang bernaung dibawah rumah produksi Miles ini juga memiliki musik latar yang fenomenal. Semua musik yang terlibat dengan sukses ikut membangun dan menyokong nuansa sebuah adegan. Kesuksesan AADC dalam mengantongi sebuah Piala Citra untuk tata musik terbaik juga serta merta menjadi bukti bahwa, lagu-lagu yang memeriahkan AADC dapat mempengaruhi yang signifikan terhadap suasana hati penonton. Berbeda dengan kebanyakan film lokal dan mancanegara, para penulis skenario AADC memutuskan bahwa tema dan musik yang tepat-pun masih belum memadai. Setelah disetujui oleh Mira Lesmana dan Riri Riza, AADC akhirnya juga mengunakan puisi sebagai salah satu media penyampaian pesan moral. Untuk seluruh, AADC menyertakan 3 puisi yang masing-masing menyentuh ketiga aspek percintaan yang berbeda.
Terlepas dari sederet hal positif yang turut mewarnai film AADC, masih ada beberapa aspek yang dapat ditingkatkan. Contohnya,poster daripada film yang telah memenangkan 3 Piala Citra ini sangatlah labil. Lewat pandangan sekilas orang tidak akan dapat menangkap makna dibalik poster film AADC. Ini dikarenakan proposi, warna dan desain poster yang tidak masuk akal. Jenis huruf yang monoton pada poster juga mengakibatkan hasil akhir yang kurang persuasif, dan justru menimbulkan keraguan. Seharusnya poster AADC dibuat lebih menarik dan tegas lewat, beberapa foto tokoh -bukan hanya Cinta dan Rangga saja. Akan lebih baik pula apabila desain poster dibuat lebih kreatif, agar memancarkan aura kreatif yang lebih menarik. Untuk film ini sendiri, teknik pengeditan masih harus diperbaiki. Ada beberapa adegan pertandingan olahraga dimana pantulan bayangan mikrofon gantung dan kamera masih terlihat, dan pada akhir film tulisan di kaca bandara juga belum dibalik. Kesalahan-kesalahan teknis seperti ini secara langsung mengurangi realitisme dan profesionalisme film.
Secara keseluruhan, tidak ada yang meragukan bahwa AADC adalah sebuah film yang ‘mengena’ sekaligus menghibur. “Ada kemungkinan besar bahwa suatu saat nanti AADC akan diperbaiki dan direproduksi kembali pada tahun 2012,” tutur Mira Lesmana. Dan apabila sutradara memutuskan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang diulas diatas, tidak diragukan lagi, AADC akan disambut dengan meriah oleh berbagai kalangan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar