“Karena aku ingin
kamu. Itu saja.” Untaian kata-kata polos tersebut dengan manis membalut
sebuah cerita penuh liku mengenai cinta. Memang hebat, hanya dalam 112 menit ‘Ada
Apa Dengan Cinta?’ (AADC) telah berhasil mengulas semua aspek
percintaan, sekaligus mengemasnya lewat sudut pandang seorang Cinta
(Dian Sastrowardoyo). Seperti gadis remaja manapun, kehidupan Cinta
diwarnai oleh kegilaan-kegilaan yang dikemas dalam persahabatan kentalnya
dengan Maura (Titi Kamal), Alya (Ladya Cheryl), Milly
(Sissy Priscilla) dan Carmen (Adina Wirasati). Cinta
juga hidup disayang sebagai anak semata wayang dalam keluarganya yang tak kalah
harmonis. Terlebih dari itu, Cinta juga menguasai seni menulis puisi, dan
kepiawaiannya sebagai penyair terbukti lewat puisi “Sahabat” – yang dengan
hangat menyambut penonton di awal film. Singkat kata, Cinta digambarkan sebagai
sesosok remaja putri SMA yang memiliki seluruh dunia dalam kepalan tangannya.
Akan tetapi dunia
kecil Cinta dijungkirbalikan oleh kemunculan Rangga (Nicholas Saputra),
yang secara tidak sengaja merebut kemenangan Cinta dalam sebuah lomba menulis
puisi. Kejadian ini dengan segera menebarkan bibit-bibit perseteruan, yang
mengakibatkan limpahan momentum “anjing dan kucing” di antara mereka. Setelah
lusinan konflik berlalu, Rangga dan Cinta mulai menjumpai berbagai persamaan di
antara mereka. Layaknya cerita asmara klasik, Rangga dan Cinta mulai mengadopsi
hubungan saling ‘benci’ – dalam artian hubungan saling benar-benar cinta.
Meskipun begitu,
kehadiran Borne (Fabian Ricardo) - teman sekolah Cinta yang
sudah lama menaruh hati padanya – lekas menghambat perjuangan Rangga untuk
memenangkan hati Cinta. Bedampingan dengan itu, kebersamaan Rangga dan Cinta
juga seringkali menyulut api perselisihan di tengah Cinta dan ke-empat sahabat
sejatinya. Situasi memanas ketika Cinta kerap kali harus memilih antara Rangga
atau ke-empat sobatnya. Pilihan Cinta hampir menyebabkan Alya – yang sedang didera
masalah keluarga – kehilangan nyawanya, dan memutuskan tali persahabatan di
antara semua sahabatnya!
Selesai menyorot permasalahan
cinta dari segala aspek (lawan jenis, sahabat dan keluarga), AADC
menyajikan penutup yang efektif nan sederhana. Dengan menggugah, Cinta, Maura,
Milly, Alya dan Carmen bersatu kembali untuk saling mendukung satu sama lain,
dan hubungan keluarga Alya juga berangsur membaik. Adegan penting di penghujung
film AADC berkisar seputar persatuan mengharukan antara Rangga dan Cinta!
Rangga yang hendak pindah ke Amerika, terpaksa harus meninggalkan Cinta tanpa
mengutarakan kata-kata perpisahan. Bagaimanapun, sebelum Rangga beranjak
menaiki pesawat, Cinta secara mengejutkan muncul dan mengakui perasaannya
kepada Rangga. Rangga yang pada akhirnya harus tetap pergi, mencetuskan janji
bahwa Ia akan kembali untuk Cinta. Rangga kemudian menyerahkan buku syairnya
kepada Cinta untuk menyatakan ketulusannya. Dalam perjalanan pulang Cinta mulai
membaca salah satu puisi yang ditulis Rangga tentang dirinya, dan dengan
perlahan film pudar dari hadapan penonton.
Tak diragukan lagi,
AADC merupakan salah satu film Indonesia berkualitas yang patut dibanggakan.
Film yang beberapa minggu lalu genap berumur 10 tahun ini, dengan cermat telah
mengangkat sebuah tema yang sangat manusiawi. Terlebih dari
itu, film yang digarap oleh Rudy Soedjarwo ini memiliki sangkut paut minim
dengan teknologi maupun penemuan terbaru. Ini memperbolehkan AADC untuk tumbuh
menjadi suatu karya yang “tahan banting” terhadap era globalisasi. Selain itu,
film yang bernaung dibawah rumah produksi Miles ini juga
memiliki musik latar yang fenomenal. Semua musik yang terlibat
dengan sukses ikut membangun dan menyokong nuansa sebuah adegan. Kesuksesan
AADC dalam mengantongi sebuah Piala Citra untuk tata musik terbaik juga serta
merta menjadi bukti bahwa, lagu-lagu yang memeriahkan AADC dapat mempengaruhi
yang signifikan terhadap suasana hati penonton. Berbeda dengan kebanyakan film
lokal dan mancanegara, para penulis skenario AADC memutuskan bahwa tema dan
musik yang tepat-pun masih belum memadai. Setelah disetujui oleh Mira Lesmana
dan Riri Riza, AADC akhirnya juga mengunakan puisi sebagai
salah satu media penyampaian pesan moral. Untuk seluruh, AADC menyertakan 3
puisi yang masing-masing menyentuh ketiga aspek percintaan yang berbeda.
Terlepas dari sederet
hal positif yang turut mewarnai film AADC, masih ada beberapa aspek yang dapat
ditingkatkan. Contohnya,poster daripada film yang telah memenangkan
3 Piala Citra ini sangatlah labil. Lewat pandangan sekilas orang tidak akan
dapat menangkap makna dibalik poster film AADC. Ini dikarenakan proposi, warna
dan desain poster yang tidak masuk akal. Jenis huruf yang monoton pada poster juga
mengakibatkan hasil akhir yang kurang persuasif, dan justru menimbulkan
keraguan. Seharusnya poster AADC dibuat lebih menarik dan tegas lewat, beberapa
foto tokoh -bukan hanya Cinta dan Rangga saja. Akan lebih baik pula apabila
desain poster dibuat lebih kreatif, agar memancarkan aura kreatif yang lebih
menarik. Untuk film ini sendiri, teknik pengeditan masih harus
diperbaiki. Ada beberapa adegan pertandingan olahraga dimana pantulan bayangan
mikrofon gantung dan kamera masih terlihat, dan pada akhir film tulisan di kaca
bandara juga belum dibalik. Kesalahan-kesalahan teknis seperti ini secara
langsung mengurangi realitisme dan profesionalisme film.
Secara keseluruhan,
tidak ada yang meragukan bahwa AADC adalah sebuah film yang ‘mengena’ sekaligus
menghibur. “Ada kemungkinan besar bahwa suatu saat nanti AADC akan
diperbaiki dan direproduksi kembali pada tahun 2012,” tutur Mira
Lesmana. Dan apabila sutradara memutuskan untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang diulas diatas, tidak diragukan lagi, AADC akan
disambut dengan meriah oleh berbagai kalangan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar